Seekor
kuda yang berlari kencang menerbangkan debu-debu dengan setiap hentakan
kakinya. Pemuda penunggang kuda jantan coklat itu mengeluarkan suara aba-aba
yang mendorong kudanya untuk terus berlari dengan cepat. Sesekali ia pukulkan
tangannya ke badan kuda sambil berteriak memberi komando dan menyusuri jalanan
yang ramai,di punggungnya juga terikat beberapa
batang kayu-kayu kecil yang biasa digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak.
“Hendak
kemana Engkau, Nan Tongga!” teriak salah seorang pria di tepi jalan.Pria itu
pada mulanya sedang asyik menonton beberapa wanita yang tengah menenun songket.
“Ah
tidak kemana-mana, hanya mencari kayu bakar, Malin” jawab si Penunggang kuda
dengan santai.
“Oh
kalau begitu segeralah pulang, barangkali Ibumu Suto Suri sudah menunggu,”
Malin Cik Ameh, pria di tepi jalan itu, mempersilahkan sambil menjadikan
tangannya isyarat yang memperkenankan lawan bicaranya pergi.
“Baiklah,
terimakasih Malin, wassalamu’alaikum.”
Kuda kembali berlari kencang.
Anggun
Nan Tongga, si penunggang kuda, adalah seorang pemuda yang masyhur namanya bagi
masyarakat di Pariaman. Sosoknya yang tampan, bersahaja, penuh sopan santun dan
didukungberbagai keterampilan yang dikuasai seperti berkuda, bersilat dan
mengaji, menjadikannya kesenangan banyak orang, serta acapkali diharap setiap
orangtua untuk dijadikan menantu. Ia disebut-sebut sebagai lelaki yang nyaris
sempurna.
Suto
Suri bukanlah ibu kandung Anggun Nan Tongga, aslinya Suto Suri adalah bibi dari
Nan Tongga. Ibu kandung Nan Tongga adalah Ganto Pamai, seorang wanita cantik
yang wafat kala melahirkan Nan Tongga, sedangkan sang Ayah hilang tak tahu
rimbanya kala memutuskan bertarak ke gunung Ledang, di Johor. Ketiga orang
pamannya,Mangkudun Sati, Nangkodoh Rajo dan Katik Intanhilang dan diberitakan
ditawan oleh bajak laut di Pulau Binuang Sati. Jadilah sedari bayi Nan Tongga
diasuh oleh Suto Suri.
-------
“Apakah engkau benar-benar ingin
mengikuti sayembara dari Nangkodoh Baha yang sedang mencari istri bagi Intan
Koro, adiknya itu?” Suto Suri dengan wajah yang sendu menatap Nan Tongga dengan
dalam. Wajahnya telah keriput dimakan usia dan kepala yang tertutup songkok
telah ditumbuhi rambut putih, namun kebijaksanaan sebagai wanita yang berumur sudah
semakin matang.
“Mandeh, restuliah aku untuk
mengikutinya. Nangkodoh Baha dari Sungai Garinggiang itu seorang yang ternama,
ia sangat terkenal dan adiknya si Intan Koro adalah seorang wanita yang
diketahui sangat cantik. Tidakkah kau mengizinkanku?” Nan Tongga menggenggam
tangan Suto Suri yang sudah keriput dan menatap lekat matanya.
“Sayangku, ketahuilah bahwa urang-urang tuo alah menjodohkanmu
dengan Gondan Gondoriah. Apakah ia kalah cantik dari Intan Koro?” Suto Suri
mengingatkan Nan Tongga akan Gondoriah. Seorang gadis cantik yang telah dipasangkan
dengan Nan Tongga.
Mendengar nama Gondoriah, Nan Tongga
langsung terdiam. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan Suto Suri. Hati kecilnya
sangat menyukai Gondoriah yang sebenarnya juga masih memiliki hubungan keluarga
dengannya, namun di sisi lain sayembara dari Nangkodo Baha adalah barang
langka.
Belum selesai hati Nan Tongga
berkecamuk, Suto Suri membelai kepala Nan Tongga lalu berkata, “tapi jika
memang itu keputusanmu, ikutilah! Lakukanlah! Aku merestuimu.”
Mata
Nan Tongga Berbinar. Ia menyalami dan mencium tangan Suto Suri dengan takzim.
Ia segera menyiapkan diri untuk mengikuti sayembara Nangkodoh Baha.
Di
hari sayembara, Nan Tongga menjadi pemuda yang gilang gemilang. Ia memenangi
setiap permainan yang diperlombakan, memanah, adu ayam, pencak silat dan
permainan catur. Nan Tongga girang bukan
main, ia sudah tak sabar menanti hadiah dari perlombaan itu, Intan Koro.
Nangkodoh
Baha melangkah mendekati Nan Tongga. Tidak ada senyum ataupun rona kebanggaan
yang terlukis di wajahnya. Ia menatap lekat mata Nan Tongga, tangan kanannya ia
letakkan di bahu kiri Nan Tongga kemudian ia tersenyum penuh penghinaan.
“Kau
memenangkan semua tantangan yang kuberikan. Apakah karena itu kau memiliki
alasan untuk memiliki adikku?” Ucap Nangkodoh Baha kepada Nan Tongga. Ia
kemudian menarik tangannya dan berjalan mondar mandir sambil mengelus-elus
janggut panjangnya di depan Nan Tongga yang seketika itu kehilangan kegembiraan
dan kini diselimuti keraguan.
“Bagaimana
mungkin engkau dapat dikatakan hebat kalau pamanmu yang ditawan bajak laut itu
tidak mampu kau selamatkan?” Teriak Nangkodoh Baha di hadapan Nan Tongga.
Semua
orang yang ada di sekitar mereka terdiam terpaku, pun begitu dengan Nan Tongga.
Ia tidak bisa lagi menjawab, hatinya yang pilu mengunci mulutnya. Ia sebenarnya
tegar dari rasa hina yang ia terima. Ia mengangguk dan langsung berjalan dengan
cepat meninggalkan Nangkodoh Baha. Ia berjalan pulang sambil beritikad di dalam
hati, ‘akan kuselamatkan ketiga orang pamanku!’
Bersambung ke - Janji Nan Tongga
- Soni Indrayana-
Bersambung ke - Janji Nan Tongga