Sambungan dari Anggun Nan Tongga
Cinta
bukan barang paksaan, ia tak dapat dipetik layaknya bunga dan tak dapat dibeli
bagai barang. Apapun perkataan orang, cinta tetaplah utamanya muncul dari hati
nan biasa mencinta. Nan Tongga sudah tidak memikirkan lagi tentang kegagalannya
mendapatkan Intan Koro. Ia kini sibuk menyiapkan dirinya untuk berjuang
menyelamatkan pamannya. Inilah kesempatan bagi Nan Tongga untuk berbakti kepada
keluarga dan membuktikan kepada khalayak bahwa ia tetap menjadi lelaki yang
bertanggung jawab dan mencintai keluarga.
Gondan
Gondoriah, gadis jelita yang disebut-sebut sudah dijodohkan sejak kecil dengan
Anggun Nan Tongga kini mulai khawatir akan keselamatan pria idamannya itu,
meski salah seorang dari ketiga paman Nan Tongga adalah ayah Gondoriah.Semua
penduduk tahu betapa ganas para bajak laut di Pulau Binuang Sati, nyawa sudah
menjadi makanan sehari-hari bagi para bajak laut itu.
Bunga-bunga
cinta tengah indah bersemi, memberikan harum semerbak diantara mereka. Nan
Tongga dan Gondoriah beberapa kali saling tatap dalam berbagai kesempatan yang
singkat. Nan Tongga sering mendapati Gondoriah mencuci pakaian saat mencari
kayu bakar, dan Gondoriah pun kadang-kadang melihat Nan Tongga menunggangi kuda
dengan gagah atau ketika Nan Tongga pergi ke surau untuk sembahyang. Senyuman
sekilas sering mereka tukarkan ketika harus saling berpapasan, penuh malu dan
segan, namun mendalam di sanubari.Lidah mereka sedikit berbicara, namun hati
terus saling berbisik menanti.
Hari
untuk Nan Tongga berangkat menyelamatkan pamannya telah tiba. Ia berpamitan kepada Suto Siri, dan tentunya
Gondoriah.
“Berhati-hatilah
nak, jaga dirimu baik-baik. Ingeklah
patuah urang tuo,” ucap Suto Siri dengan penuh pengharapan.
“Tentu
Mandeh. Mandeh juga, jaga diri baik-baik. Doakan ambo pulang dengan selamat bersama ketiga mamak,” jawab Nan Tongga.
Nan
Tongga kemudian menatap Gondoriah yang berusaha menampakkan ketegaran sambil
melingkupkan selendang cokelat yang menutupi kepalanya. Rambutnya yang diikat
terulur di bahu kanannya. Nan Tongga dan Gondoriah berusaha menundukkan
pandangan, namun rasa saling ketertarikan diantara mereka tetap tidak
tersembunyi.
“Aku
pamit dulu,” ucap Nan Tongga singkat kepada Gondoriah.
“Iya,
berhati-hatilah,” jawab Gondoriah singkat, air matanya mulai menetes.
Nan
Tongga akan pergi bersama Malin Cik Ameh yang menjadi karib setianya. Nan
Tonggaberangkat dengan menumpang kapal dandang milik Malin Cik Ameh sendiri.
Sebelum
Nan Tongga berangkat menemui Malin Cik Ameh, Gondan Gondoriah mendekatinya. “Nan
Tongga, berhati-hatilah. Kalau Engkau pulang ingatlah aku selalu. Bawakan pula
burung nuri yang pandai berbicara, beruk yang bermain kecapi serta bawakan aku
kain cindai panjang dua belas,” pinta Gondoriah dengan senyuman manja walau air
mata telah membasahi wajahnya.
Nan
Tongga memandang Gondoriah. Tidak kaget atausedikitpun keberatan akan pinta
Gondoriah, ia mengangguk setuju dan berjanji akan membawakan semua itu pada
Gondoriah. Kemudian ia melanjutkan perjalanan, meninggalkan kampung halaman
tercinta.
Di Pulau Binuang Sati……..
Kelebat pedang Anggun Nan Tongga
mengantarkan setiap perompak yang menghadapinya menemui ajal. Tubuh mereka
berdebam tak berdaya menghantam bumi, darah memerahkan tanah dan pekikan
kesakitan membahana mengerikan. Nan Tongga terlalu tangguh bagi para perompak.
Palimo Bajai, panglima para perompak yang sangat ditakuti kini telah terkapar
bersimbah darah dengan sebuah pedang menancap di dada kirinya.
Anggun Nan Tongga tidak langsung
menikmati kemenangannya, ia bergegas membantu Malin Cik Ameh membebaskan para
tawanan dan berdoa agar ia bisa mendapati pamannya. Ia menyusuri gubuk-gubuk
kayu tua di kiri kanannya yang sudah ditinggalkan penghuninya, melihat
kain-kain berserakan dan beberapa pedang terjatuh di tanah. Nan Tongga
membebaskan para tawanan yang dibelenggu di gubuk-gubuk tua dan kandang
binatang.
-------
“Hamba datang dari Pariaman, maksud
hamba kemari tidak lain dan tidak bukan adalah hendak mencari paman hamba yang
telah lama hilang.” Anggun Nan Tongga berbicara di hadapan para tawanan yang
baru saja ia bebaskan.
Anggun Nan Tongga mengedarkan
pandangannya kepada seluruh tawanan. Ia harus mencari tahu perihal keberadaan
pamannya. Ia sendiri tidak tahu wajah pamannya, karena mereka disebut-sebut telah
pergi meninggalkan Pariaman sebelum Nan Tongga lahir ke dunia. Semua tawanan
itu saling berpandangan, mereka masih heran dengan kehadiran seorang pemuda tangguh
yang datang menjadi malaikat penyelamat mereka, belum lagi kenyataan bahwa sudah
lama tidak ada yang datang ke pulau perompak ini.
Seorang pria yang kondisinya sangat
mengenaskan, dengan hanya mamakai celana pendek yang sudah lusuh mengangkat
tangan. Usianya sudah cukup berumur, sekitaran 40 tahunan atau mungkin 50
tahunan. Tubuh kurusnya ditaburi banyak luka yang sudah mengering dan rambut
bergelombangnya kotor tidak terawat. “Benarkah demikian tuan? Ambo juga datang dari negeri yang sama
dengan tuan.”
Nan Tongga menatap pria itu.
‘Mungkin saja ia pamanku, atau tahu di mana keberadaan pamanku,’ gumamnya dalam
hati.
Nan Tongga mendekati pria itu, dan
orang-orang melihat mereka saling bertatapan. “Apakah engkau tahu di mana
ketiga orang pamanku?”
Ekspresi pria tua itu tiba-tiba
berubah dengan cepat, ia mulai terlihat emosional namun coba ia redam.
“Kalaulah engkau berkenan, siapa dan bagaimana pamanmu itu?”
“Pamanku telah pergi meninggalkan
Pariaman sebelum aku lahir, begitu cerita dari sanak saudara. Tidak tahu wajah,
tidak tahu romannya. Hanya nama yang kupunya,” jawab Nan Tongga sambil ia
teruskan dengan menyebutkan nama ketiga orang pamannya.
Air mata mulai membasahi mata pria
tua itu. Dengan suara yang patah karena haru, ia berucap, “mengenai pamanmu,
yang kau katakan bernama Katik Intan dan Mangkudun Sati, tidaklah aku ketahui
bagaimana nasib dan rimbanya. Tapi yang satu lagi, telah engkau dapati di
hadapanmu kini.”
Seketika Nan Tongga terasa dihajar
sesuatu. Ia tak sanggup lagi untuk tidak menangis. Langsung ia hampiri pamannya
dan kini hatinya begitu yakin untuk memeluk seseorang yang belum pernah ia
jumpai, namun memiliki ikatan darah yang kental.
-------
“Kedua pamanmu yang melarikan diri,
kemungkinan ke arah Koto Tanau,” jelas Nangkodoh Rajo kepada Nan Tongga saat
mereka tengah beristirahat bersama sambil meminum air kelapa.
“Baiklah kalau begitu, ambo akan ke
Koto Tanau,”ucap Nan Tongga.
“Semoga kau berhasil, Nan Tongga,”
harap Nangkodo Rajo.
Di sela-sela perbincangan, Nangkodoh
Rajo yang sejatinya adalah ayah kandung Gondan Gondoriah sempat menanyakan
kabar putri yang ia tinggalkan saat masih bayi itu. Nan Tongga menjelaskan
secara jujur yang diikuti rasa syukur Nangkodoh Rajo. Melihat Nan Tongga, ada
harapan tersimpan dalam hati pamannya.
Anggun Nan Tongga kemudian menemui
Malin Cik Ameh dan menuturkan rencananya. Ia menyuruh Malin Cik Ameh pulang ke
Pariaman dan mengabari kepada Suto Suri tentang apa yang telah terjadi.
Tentunya Nan Tongga tak lupa meminta agar Malin Cik Ameh menyampaikan hal
serupa kepada Gondoriah. Malin Cik Ameh menyanggupinya. Ia menyampaikan salam
hormat kepada Nan Tongga kemudian kembali pulang dengan kapal rampasan karena
kapal miliknya akan dipakai Nan Tongga menuju Koto Tanau.
Bersambung . . . . . .